ANTARA ULAMA BESAR, ULAMA OTODIDAK DAN COPY-PASTE

Para lulusan ilmu agama --baik dari pesantren, maupun universitas dalam dan luar negeri-- harus bisa memanfaatkan fasilisas internet untuk menebarkan ilmunya kepada masyarakat, agar tidak didominasi 'ulama kopi-paste'
KATA  ulama berasal dari bahasa Arab (علماء) yang berarti orang-orang yang mengetahui, bentuk tunggalnya adalah ‘alim (عالم) orang yang mengetahui. Menurut penggunaan asalnya, kata ini dilekatkan kepada semua orang yang ahli di bidang tertentu, misalnya ulama ath thibb (pakar kedokteran), ulama al handasah (pakar teknik/teknikus), ulama al lughah (pakar bahasa), ulama asy syariah (pakar syariat). Seiring dengan perkembangan zaman, maka jika disebutkan kata ‘ulama` tanpa disandarkan kepada satu ilmu maka yang dimaksud adalah ulama di bidang syariat.
Di era teknologi yang sangat canggih sekarang di mana semua informasi dapat diperoleh dengan cara yang mudah, baik audio, visual maupun online. Apa yang terjadi di bagian barat bumi bisa diketahui oleh penduduk bagian timur bumi dalam hitungan detik begitu pula sebaliknya. Majalah, buku dan koran sudah dapat ditemui versi online-nya sehingga mempermudah banyak orang untuk meng-copy-paste-nya. Hal yang sama juga dapat kita temui pada materi-materi keagamaan seperti al Quran dan hadits beserta terjemahannya, kitab ulama salaf, khalaf, kontemporer, baik yang asli berbahasa Arab maupun terjemahannya. Saking mudahnya, banyak orang yang lebih mementingkan versi online ketimbang membeli atau membaca versi cetak.
Hal ini pula barangkali yang menyebabkan banyak pelaku plagiat di pelbagai bidang untuk beragam kepentingan mulai dari menulis lepas, menyusun karya ilmiah, menyampaikan ceramah dan lain-lain.

Sebuah fenomena

Di jakarta ada seorang dai yang mempunyai banyak murid. Di mata muridnya, dia adalah seorang ahli hadits, sehingga semua perkataannya tentang masalah hadits adalah benar. Dai ini sering berceramah di masjid-masjid ‘komunitas’-nya, mengisi program radio, tulisannya dicetak dalam buku yang berjilid-jilid, tak ketinggalan ceramahnya pun dijual di pasaran dalam bentuk VCD/DVD.
Layaknya ulama besar -di mata muridnya-, pengajiannya pun ramai dikunjungi orang. Tema yang sering disampaikannya adalah masalah hadits. Muridnya mengganggap dia lulusan sebuah kampus Arab yang ada di Jakarta dan mengajar di sana. Kenyataannya, dia bukan lulusan kampus itu dan bukan staf pengajar di sana. Dia hanya sering mendatangi perpustakaan kampus tersebut pada waktu tertentu, membaca kitab-kitab tertentu yang lalu dia ringkas dalam bahasa Arab, setelah itu dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian dia sodorkan naskahnya ke penerbit-penerbit ‘komunitas’-nya.
Sering pula ia ‘menghajar’ ulama sekaliber Dr. Yusuf Alqaradhawi, Said Sabiq, Sayyid Quthb dan lainnya dan mengatakan bahwa semua perkataannya adalah bathil.
Tidak diragukan, para ulama itu mempunyai kesalahan layaknya manusia biasa, tapi seharusnya itu tidak membutakan mata hati kita bahwa mereka adalah ulama besar dan pendapat mereka dapat dijadikan rujukan.
Jika kita bandingkan dia dengan ulama tersebut tentu tidak ada apa-apanya. Dia hanya berbekal ilmu secara otodidak dan hanya diakui sebagai ulama oleh ‘komunitas’-nya, sementara kualitas ilmu ulama tersebut sudah diakui secara internasional.
Sifat sombong memang tidak mengenal status seseorang, entah dia ulama, orang awam, kaya, miskin, tua, muda, besar dan kecil. Jika seseorang telah merasa puas terhadap ilmu yang didapatnya maka sungguh dia adalah orang bodoh, begitu kata salah seorang ulama salafush-shalih.
Itulah salah satu contoh ulama otodidak di negeri ini. Dalam sejarah modern tercatat beberapa ulama yang berhasil secara otodidak tapi itu hanya bersifat kasuistik tidak umum.
Memang betul ada hal-hal yang bisa dipahami secara otodidak namun ada banyak hal yang harus dipahami melalui guru, dosen, pembimbing, pakar, dan ulama. Jika dalam urusan duniawi saja kita hanya percaya kepada orang yang ahli di bidang tertentu maka lebih utama lagi dalam urusan akhirat (agama). Jika kita percaya bahwa masalah kesehatan harus dikonsultasikan kepada dokter maka tentu masalah agama kita konsultasikan kepada ahlinya yaitu para ulama bukan kepada orang yang tidak jelas latar belakang pendidikan agamanya.

Pahami dahulu sebelum menyampaikanIlmu itu bukan sekadar copy-paste dari internet atau sekadar memahami kitab ulama sendiri secara otodidak lalu diajarkan kepada orang lain. Jika kita kesulitan untuk bertanya kepada ulama, ustadz, kiai, atau guru agama maka dengan kecanggihan teknologi kita bisa bertanya melalui surat elektronik (e-mail) atau mengirim pesan lewat akun jejaring sosial. Sudah banyak ulama yang memiliki akun resmi walaupun tidak langsung dia kendalikan tapi bersama orang kepercayaannya, terutama ulama timur tengah. Jika tidak memahami bahasa Arab maka kita juga bisa bertanya kepada ulama Indonesia yang dianggap mumpuni di bidangnya masing-masing. Jadi, tidak ada alasan untuk meng-copy-paste hadits beserta terjemahnya, misalnya, lalu kita pahami sendiri tanpa mengetahui secara pasti maksud dari hadits tersebut, terutama hadits yang memerlukan syarah (penjelasan) khusus, setelah itu kita sampaikan kepada orang lain.
Jika ada yang mengatakan, bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda:  “Sampaikanlah (apa) yang berasal dariku walaupun satu ayat.” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan At-Tirmidzi). Maka kita jawab, benar, itu adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun kita harus pahami juga bahwa Al-Qur`an dan hadits berbahasa Arab, tentu yang memahaminya pertama kali adalah orang Arab dari kalangan shahabat dan ulama sepeninggal mereka.
Contoh pemahaman fatal yang pernah saya dengar dari seorang dai adalah ketika ditanya tentang seseorang yang memasuki benteng pertahanan musuh sendirian sehingga dia hampir mati diserang segerombolan musuh. Dai itu menjawab, “Orang itu berdosa karena menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan.” Dia lalu menyitir firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195).
Jika orang ini pernah membaca sebuah hadits tentang sabab nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut tentu dia akan menjawab dengan cara yang berbeda.
Sebuah riwayat yang diberitakan Abu Dawud dan At-Tirmdzi yang berasal dari Aslam Abu
Imran, yang mana dia berkata, “Suatu ketika kami berangkat dari Madinah Al-Munawwarah untuk berperang di Konstantinopel. Kami dipimpin oleh Abdurrahman bin Khalid bin Walid, sementara orang-orang Romawi menempelkan punggung mereka pada dinding kota. Lalu ada seorang lelaki (dari kaum Muslimin) yang menyerang musuh. Orang-orang pun berteriak, “Tahan, tahan. La Ilaha Illallah, dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan.” Lalu Abu Ayyub (Al-Anshari) menimpali kata-kata mereka, “Sesungguhnya ayat yang berkaitan tentang hal ini turun berkenaan dengan kami orang-orang Anshar. Tatkala Allah Ta’ala membela Nabi-Nya dan memenangkan Islam kami mengatakan, “Mari kita mengurus harta kita dan memperbaikinya.” Setelah itu Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Abu Ayyub melanjutkan, “Menjatuhkan ke dalam kebinasaan maksudnya adalah mengurus harta dan memperbaikinya serta meninggalkan jihad.”
Di sinilah perbedaan antara orang yang mengetahui dan yang tidak mengetahui dalam bidang agama. Orang yang tidak mengetahui mengandalkan logika semata sementara orang yang mengetahui berpendapat berdasarkan Al-Qur`an dan hadits. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman, “(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Manfaatkan Teknologi
Melihat fenomena ini maka tentunya bagi yang pernah mengecap ilmu agama --baik di pesantren, maupun universitas dalam dan luar negeri-- harus bisa memanfaatkan fasilisas internet untuk menebarkan ilmunya kepada masyarakat. Jangan salahkan masyarakat jika mereka lebih mengikuti ulama otodidak dan copy-paste yang tampil menarik di televisi, radio, dan internet bahkan aktif mengisi pengajian di masjid, mushalla, dan tempat-tempat umum.
Akhirnya, marilah kita senantiasa merenungkan firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11) Begitu pula dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang berbunyi, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Semoga Allah Ta’ala menunjuki kita ke jalan yang lurus dan istiqamah menjalankan syariat-Nya yang mulia. Amin.*/Yum Roni Askosendra
sumber : hidayatullah.com

MENGAPA ADA ORANG YANG KAYA JUGA ADA YANG MISKIN???

Umar, ia tetap zuhud dan tidak tertipu denga dunia. Kehidupan konsumsinya menggunakan jalan-jalan syariah dan kehidupan produksinya juga memakai sistem syariah

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
”Dan Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah  di bumi dan Dia meninggikan sebahagian diantara kamu di atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS:Al-An’am [6]:165).

SEORANG anak bertanya kepada ibunya; “Mak, mengapa kita miskin?” Dengan perasaan yang mendalam sang ibu menjawab: “Nak, hidup ini seperti jalan-jalan di dalam Supermarket. Semua orang boleh memilih dan membawa barang apa saja yang ia inginkan. Siapa yang membawa tiga coklat, ia akan membayar se-harga tiga coklat, siapa yang hanya membawa satu coklat, iapun membayar satu coklat,  sementara orang miskin tidak kebagian coklat itu nak. Oleh sebab itu, di pintu kasir ia tidak diperiksa. Orang miskin nanti, akan cepat pemeriksaannya di hari kiamat sedangkan orang kaya, akan lambat pemeriksaannya.”
Anak itupun terdiam mendengar jawaban sang ibu.  Meskipun analogi lewat cerita di atas tidak seluruhnya benar-karena proses hisab tetap mempertimbangkan tingkat keshalehan masing-masing, tapi paling tidak menghadirkan satu pesan kepada kita, bahwa orang yang diberikan nikmat dalam bentuk harta oleh Allah Subhanahu Wata’ala., akan dimintai pertanggungjawaban secara khusus; bagaimana mereka mendapatkannya dan kemana atau untuk apa mereka belanjakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Tidaklah bergeser kaki seorang hamba (menuju batas shiratal mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan badannya untuk apa ia gunakan.” (HR:Tirmidzi Ad-Darimi).
Terkait khusus dengan pembicaraan tentang sikap kita terhadap harta, ada satu hal penting yang harus senantiasa kita perhatikan, yaitu agar kita memiliki kehati-hatian yang tinggi. Kita harus senantiasa memupuk dan menyuburkan rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Bahwa ketika kita mendapatkannya dari sumber yang haram, meskipun tujuannya untuk kebenaran, maka tidak layak bagi kita kecuali api neraka.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu  megah-megahkan di dunia itu.” (QS: At-Takaatsur [102]: 7).
Ibnu Abbas ra dan Ibnu Jarir At Thabari menjelaskan ayat di atas, bahwa bukan hanya nikmat dalam bentuk harta saja yang akan ditanya dan dimintai peranggungjawaban dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala, akan tetapi semua nikmat yang dianugerahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada kita, akan ditanya untuk apa kita pergunakan.
Karena itu, seyogyanya dari sejak dini kita menanamkan kehati-hatian kepada diri dan keluarga kita dalam masalah halal-haram, agar kita tidak termasuk yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,  “Nanti akan datang suatu masa, dimasa itu manusia tidak peduli dari mana harta itu diperolehnya, apakah dari sumber yang halal ataukah dari sumber yang haram.” (HR: Bukhari).

Kaya adalah takdir bukan pilihan
Apapun keadaan kita di dunia ini, maka itu adalah ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala, yang harus kita syukuri dan mau tidak mau  harus dijalani. Meskipun diberikan kebebasan oleh Allah Subhanahu Wata’ala., untuk berusaha merubah keadaan kita, akan tetapi hasil akhirnya ternyata tidak membawa perubahan, maka itulah ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Wata’ala., dan harus kita syukuri sebagai karunia darinya.
Allah Subhanahu Wata’ala, berfirman;
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah  di bumi dan Dia meninggikan sebahagian diantara kamu di atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS:Al-An’am [5]:165).
Jelaslah bahwa keadaan (miskin-kaya), bukanlah pilihan daripada manusia, akan tetapi memang kehendak dari Allah Subhanahu Wata’ala., dengan tujuan untuk menguji yang kaya-dengan harta, popularitas dan segudang ke-sukses-annya yang lain, sejauh mana ia rendah hati dihadapan manusia dan seberapa ikhlas ia mendermakan hartanya di jalan Allah Subhanahu Wata’ala. Dan si-miskin, sampai titik mana ia bersabar dengan keterbatasan yang dimilikinya dan sejauh mana ia tetap berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wata’ala, di tengah setumpuk kesusahan, penderitaan yang sengaja dikirimkan oleh Allah untuknya. Itulah sikap manusia seharusnya dalam merespon nikmat dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Walaupun sudah dijelaskan bahwa dua keadaan itu merupakan ketentuan dari Allah Subhanahu Wata’ala, akan tetapi kebanyakan  manusia tidak memahami hal tersebut. Sehingga mereka berasumsi tanpa didasari ke-iman-an kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya;
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku’. Dan apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.”(QS:  Al-Fajr:15-16).
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu Wata’ala juga menggambarkan sikap manusia dalam merespon keadaan yang diberikan kepadanya; “Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku’. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS: Az-Zumar: 49).
Di abad-abad terdahulu orang banyak terjerumus pada paham eksistensialisme yang mengusung konsep ‘innamal ‘iisyu fii bahiimatul ladzdzati’ (bahwa kepuasaan adalah di atas segala-galanya),  itulah sebabnya mereka menumpuk-numpuk materi demi kepuasan semata.
Secara psikologi, kita lebih siap menerima kesuksesan, ketimbang mengadapi kegagalan, kita lebih  sanggup dan percaya diri menjadi orang kaya, ketimbang diuji dengan kondisi ke-miskinan. Coba kita berkaca pada seorang anak yang bernama Mark. Ia adalah salah satu finalis dalam sebuah ajang balap mobil mainan. Diantara keempat peserta yang masuk final itu, mobil Mark lah yang paling tak sempurna, beberapa anak menyangsikan kekuatan mobilnya untuk berpacu dengan mobil lainnya.
Namun Mark bangga dengan mobil hasil modifikasinya sendiri itu. Tibalah saat yang dinantikan, setiap anak bersiap di garis start. Namun, sesaat sebelum lomba dimulai ia memanjatkan doa dengan mata terpejam, bibir berkomat-kamit dan wajah tertunduk ke bawah. Lalu, semenit kemudian ia berkata ‘iya, aku siap! Perlombaanpun berjalan seru dihiasi tepukan tangan dan sorak-sorai yang meriah dari para penonton, tali lintasan finish pun terlambai dan yang memenagkan perlombaan itu adalah Mark. Saat pembagian pialapun  tiba, sebelum piala diserahkan, ketua panitia bertanya kepada Mark, “tadi kamu berdoa untuk diberikan kemenangan bukan?” “Tadi saya memang berdoa pak, tapi bukan untuk diberikan kemenangan, melainkan supaya Tuhan tidak membuatku menangis dan bersedih jika aku kalah.” Begitu bijaksananya Mark ketika memanjatkan doa kepada Tuhan.
Mungkin, telah banyak doa yang kita panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, agar Allah mengabulkan setiap keinginan kita, mungkin juga kita terlalu sering bermohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala untuk menjadikan kita orang nomor satu dilingkungan kita, mungkin terlalu sering juga kita berdoa agar kiranya Allah Subhanahu Wata’ala memindahkan batu ujian yang menghadang di depan mata. Bukankah yang kita butuhkan bimbingan-Nya saat kejayaan itu kita raih? Juga panduan dari-Nya yang kita butuhkan dalam hidup di dunia ini?
Sikap Terhadap Nikmat Allah 
Seorang mukmin sejati keadaan itu tidaklah menjadi alasan untuk jatuh tersungkur meratapi nasibnya atau membusungkan dada membanggakan dirinya, karena ia sadar bahwa itu adalah ketentuan dari Allah Subhanahu Wata’ala, yang harus disyukuri, yang ia cari sesungguhnya dalam kehidupan adalah ‘nilai’. Ia akan berusaha bagaiamana dengan keadaan itu mengantarkannya pada ‘nilai’ yang  dapat membuatnya berharga dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
Adalah Umar Bin Khattab ra, salah seorang sahabat nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam., yang dianugerahi kekayaan. Dalam buku “Fiqh Ekonomi” fakta sejarah membuktikan bahwa Umar memiliki 70.000 ladang pertanian, yang kalau dihargakan pada masa itu, maka perladang pertanian seharga 160 juta, dan kalau dijumlah 70.000X160 juta, maka kekayaan Umar= 11,2 Triliun. Sebuah angka yang fantastis untuk sebuah usaha.
Tapi, demikian kayanya Umar, ia tetap zuhud dan tidak tertipu denga dunia. Kehidupan konsumsinya menggunakan jalan-jalan syariah dan kehidupan produksinya juga memakai sistem syariah. Ia sangat yakin apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, “Barang siapa yang himmah (tujuan)nya adalah negeri akhirat, Allah akan mengoptimalkan kekuatannya, dan menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dengan hina. Namun, barangsiapa yang niatnya hanya mencari dunia, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan menceraiberaikan urusan dunianya dan menjadikan ke-fakir-an diantara kedua pelupuk matanya, dan dunia tidak akan menghampirinya kecuali hanya sebesar apa yang telah ditakdirkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ahmad, Baihaqi, Ad-Darimi). Wallahu a’lam bish-shawab.*/Penulis, dr Hamdi Syahril, Sulawesi Selatan