MARAMA Story .Siang itu matahari seakan tidak merestui pekerjaan mulia kami sebagai "Mujahid Ramadhan", demikian kami mengistilahkan. Panas yang sangat membakar membuat sebagian orang pasti akan memilih tetap tinggal di rumah nyaman mereka masing-masing, sambil menyetel air conditioner (AC) mereka dengan suhu yang paling rendah.
Namun, bagi kami amanah suci dari lembaga ini harus tetap kami sampaikan. Karena capek itu pasti, tapi malas adalah sebuah pilihan. Mujahid Ramadhan, istilah yang disematkan bagi para petugas penggalang dana Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) oleh lembaga kami, sebuah Pondok Pesantren di Kalimantan Timur. Tugasnya berkeliling dari rumah ke rumah guna mengingatkan umat Islam untuk menunaikan amalan ZIS-nya.
Jumat (19/7/2013) siang itu, saya dan sahabat saya, Safikrie, terus mendatangi rumah rumah-rumah para dermawan di kawasan Perumahan Telindung, Balikpapan Utara. “Door to door", dari satu pintu ke pintu lain menawarkan sebuah investasi akhirat. Namun apa daya, kami juga hanya manusia biasa, kami punya batas tenaga. Apalagi saat itu kami sedang menjalankan kewajiban kami yaitu shaum (puasa) Ramadhan.
Walaupun semangat kami menggebu–gebu, tapi tubuh lemah ini butuh diistirahatkan dulu. Kami pun memilih sebuah rumah suci untuk melepas lelah, Mushalla Nurul Jannah namanya. Kami memilih mushalla ini dikarenakan kami yang berstatus sebagai santri sudah sangat akrab dan tidak asing lagi dengan suasana masjid, mushalla atau tempat beribadah Muslim lainnya. Sebab kami serasa berada di pondok pesantren kami tercinta.
Seperti namanya yang mempunyai makna Mushalla Nurul Jannah atau "Cahaya Surga", memiliki beberapa kelebihan buat kami para pencari dana. Walaupun mushalla ini tergolong kecil namun karena dilengkapi dua buah AC, ditambah dengan karpetnya yang cukup tebal dan empuk bahkan lebih tebal dari ambal kami di asrama, dan juga pemandangan yang ditawarkan cukup indah -karena mushalla ini berada di tempat yang strategis-, jadilah tempat ini yang pas untuk kami beristirahat.
Saya memilih merebahkan tubuh di bawah AC, sembari menghilangkan peluh yang membasahi wajah saya. Sejuk rasanya, mata saya pun terbuai sehingga saya langsung terlelap ke alam mimpi.
Ketika terbangun saya agak terkejut, seingat saya ketika kami mendatangi mushalla ini belum ada satu orang pun, hanya kami berdua. Namun di sekeliling saya saat itu sudah ada beberapa orang dan mereka memandangi kami. Saya pun segera melihat jam di dinding, ternyata waktu menunjukkan waktu Shalat Ashar. Karena malu saya segera membangunkan sahabat saya dan mengajaknya untuk bersuci, bersiap-siap untuk shalat.
Selesai berwudhu kami segera kembali ke dalam mushalla. Namun tiba-tiba ada perasaan aneh yang saya rasakan, setiap orang di mushalla itu seakan melihat kearah kami berdua. Bahkan saya rasakan tatapan mereka mengartikan rasa kekurangsukaan.
Mungkin hanya prasangka buruk saya saja. Saya pun bergegas melaksanakan shalat sunahqobliah untuk menghilangkan perasaan suudzon (prasangka buruk) itu.
Selesai shalat sunah dan berdoa, saya kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling saya. Ternyata mereka masih saja memperhatikan kami, walaupun ada yang langsung memalingkan pandangan ketika saya tatap. Namun ada juga yang terus menerus menatap kami.
Bingung, mungkin itu yang kami berdua rasakan. Kami seperti orang asing dan tidak diharapkan di rumah Allah itu. Namun kami tetap duduk di tempat kami sembari mengulang-ulang sedikit hafalan kami.
Iqomah pun dikumandangkan, Shalat Ashar pun didirikan. Sudah kebiasaan kami untuk merapatkan shaf shalat, karena itu merupakan salah satu kesempurnaan shalat berjamaah. Namun jamaah mushalla itu seperti enggan mempertemukan tumitnya dan tumit saya, apalagi sampai harus merapatkan tubuhnya. Saya pun mafhum dan tetap melaksanakan Shalat Ashar meski dengan perasaan yang lain-lain.
Selesai shalat kami segera berdoa dan bergegas pergi keluar Mushalla Nurul Jannah. Kami pun masih membawa perasaan bingung tadi. Saya bertanya pada sahabat saya tadi, “Fik, mengapa tatapan mata mereka serasa aneh melihat kita?“
“Nggak tau tuh, Lal. Aku aja dongkol,“ jawabnya dengan sedikit emosi.
“Masa kita diliatin mulu, kayak kita bukan dari bumi aja,“ lanjutnya.
“Hahaha... Iya tuh,“ sambung saya sembari tertawa.
Belakangan, sebelum kami meninggalkan tempat itu, kedua mata kami menangkap sebuah plang “Mushalla Nurul Jannah – LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia. Red)."
“Ooooooh... demikian kami berdua serempak sambil tertawa.*/dikisahkan Bilal Tadzkir, Balikpapan
(Diambil dari situs www.hidayatullah.com)
(Diambil dari situs www.hidayatullah.com)